Jakarta, 2009.
“Eh besok kita ke kantor TNC ya di Blok M” ujar teman saya. Saat itu kami sedang dalam misi mencari narasumber tentang sustainable development dan berniat audiensi dengan para pakar yang bergerak di bidang tersebut. Untuk apa? Saya dan teman saya diterpilih menjadi delegasi perwakilan Indonesia untuk World Student Environmental Summit di Kanada. Sebagai mahasiswa Jurusan Ekonomi, pastinya ilmu kami tentang lingkungan bisa dibilang setara anak TK nol besar. Jujur saya masih buta tentang siapa TNC, kepanjangannya apa saja saya tidak tahu pasti.
Tepat jam 9 pagi kami sudah sampai di kantor TNC untuk menemui Bang Ahmad Fuadi (dan sekarangbeliau menjadi penulis ternama!). Ternyata beliau adalah CEO TNC untuk Indonesia dan akhirnya saya tau apa itu TNC. The Nature Conservancy.
Sebagai seorang CEO, beliau banyak bercerita tentang proyek hijau TNC di Indonesia dan berbagai macam hal tentang The Nature Conservancy Program Indonesia. Terutama di bidang pelestarian coral triangle. Ini adalah pertama kali saya berhubungan dengan laut Indonesia dan seluruh keajaibannya. Sebagai mahasiswa tingkat akhir dengan keuangan terbatas, rasanya menyenangkan mendengarkan cerita beliau tentang berbagai daerah menawan Indonesia yang menjadi lokasi proyek TNC. Mulai dari Pulau Komodo sampai Wakatobi. Beliau bercerita bagaimana gigihnya proyek TNC untuk mengubah cara berpikir warga setempat untuk ikut melestarikan alamnya. Well, beberapa tempat terdengar sangat asing bagi saya saat itu tapi satu yang pasti, apa yang dilakukan TNC sangat hebat dan patut diapresiasi. Selesai audiensi, saya diberi beberapa lembar flyer tentang coral triangle di Indonesia dan souvenir TNC. Flyer tersebut saya baca dan bertekad saya akan pergi mengunjung seluruh tempat yang ada di flyer tersebut. Pulau Komodo, Wakatobi, Derawan dan Raja Ampat.
Baubau, 2011.
Mungkin saya gila atau tidak berpikir panjang waktu menuliskan lokasi penempatan yang diinginkan setelah selesai masa pelatihan di kantor. Setelah lulus, saya melamar pekerjaan sebagai bankir di salah satu bank BUMN. Saya tahu konsekuensinya akan ditempatkan di seluruh wilayah Indonesia. Saya tidak takut. Tebak kota apa yang saya pilih? Salah satunya adalah Baubau. Kenapa saya pilih kota tersebut? Jawabannya satu, saya ingin melihat Wakatobi.
Sehari sebelum tenggat waktu pengumpulan daftar nama kota yang dipilih, saya menatap peta Indonesia dan flyer dari TNC yang saya miliki. Saya bertekad, saya harus mengunjungi salah satu lokasi tersebut. Dua lokasi target saya yaitu Wakatobi dan Raja Ampat. Saya pikir, Wakatobi cukup menarik. Pada saat itu, Wakatobi belum setenar saat ini. Kenapa bukan Raja Ampat? Lokasi itu saya simpan untuk pergi bersama pasangan, nanti. Dan keputusan saya tersebut dikabulkan. Wakatobi saya datang!! Rasanya seperti mimpi. Saya menginjakkan kaki di Wakatobi untuk pertama kalinya dan flyer TNC yang mengenalkan saya pada tempat ini.
Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan gugusan karang di Wakatobi apabila tidak ada campur tangan program revolusi hijau milik TNC. Saya yakin, nelayan malah akan berlomba-lomba menemukan cara terbaik untuk mengebom karang-karang tersebut demi hasil tangkapan ikan yang lebih banyak. Saya sempat berbincang dengan salah satu pegawai TNC yang bertugas di Wakatobi dan mendengarkan cara-cara mereka dalam merangkul masyarakat demi pelestarian alam. Menyenangkan rasanya melihat masyarakat bahu membahu dalam melestarikan karang dan membuat lokasi pelestarian di sekitar pulau utama Wakatobi yaitu Wangi-wangi.
Rasa penasaran saya dengan kecantikan bawah laut Indonesia mendorong saya untuk mencoba scuba diving. Saya betul-betul jatuh cinta dengan mereka. Warna-warninya, ikan-ikan yang berenang bebas, laut yang jernih dan makhluk aneh yang belum pernah saya temui sebelumnya. Saya sakau. Hampir setiap bulan saya menawarkan diri kepada supervisor saya untuk mengunjungi cabang Wakatobi dengan berbagai macam alasan. Motif dibalik itu? Saya ingin menyelam! Sejak saat itu, saya berharap TNC bisa melakukan hal yang sama pada seluruh situs diving di Indonesia. Sedih rasanya melihat kawasan karang yang berubah menjadi putih karena aktivitas penangkapan ikan yang tidak sehat. Flyer TNC berhasil saya tandai satu.
Komodo, 2014.
Setelah dua tahun menjelajahi wakatobi, akhirnya saya pindah ke Makassar. Kecintaan saya akan dunia bawah laut membawa saya menjadi seorang freediver. Waktu luang yang ada, saya habiskan untuk menyelam dan berburu karang cantik di sekitar Makassar. Setiap tahun, saya akan menentukan satu lokasi yang akan saya jadikan gong wisata tahunan. Kali ini perhatian saya tertuju pada Flores, Nusa Tenggara Timur. Saya ingat tekad saya untuk mengunjungi lokasi yang ada di flyer TNC lima tahun lalu. Akhirnya Flores menjadi tujuan saya berikutnya.
Pulau Komodo menjadi salah satu destinasi dalam rangkaian perjalanan saya kali ini. Saya ingin melihat langsung apa yang berhasil dilakukan TNC di tanah para naga purba dan bagaimana TNC berhasil dengan proyeknya mengajak masyarakat menjaga laut Indonesia dengan mengubah cara mereka hidup.
Saya lebih terkesima lagi saat melihat apa yang terjadi di Kepulauan Komodo. Mereka hidup selaras dengan alam. Mereka sangat menghargai laut dan ikut mejaga apa yang seharusnya mereka jaga. Padahal beberapa tahun yang lalu, daerah kepulauan NTT terkenal dengan nelayan yang menangkap ikan menggunakan cara yang tidak ramah lingkungan. Nyatanya, saat ini laut di sana sangat terjaga.
Akhirnya saya berhasil memberikan tanda centrang lagi pada flyer lima tahun lalu.
Revolusi hijau. Banyak pihak yang berpendapat menjaga alam itu omong kosong. Alam punya cara sendiri untuk memperbaikinya kok. Memang benar. Tapi sadarkah bahwa manusialah yang membutuhkan alam. Manusialah yang tidak bisa lepas dari apa yang alam berikan. Lagi pula bukannya kita sebagai manusia punya kewajiban untuk menjaga apa yang kita lihat sekarang, masih bisa dilihat oleh generasi selanjutnya? Apa yang akan kita jawab seandainya anak cucu kita nanti bertanya “Seperti apa wujud hiu paus? Seperti apa wujud pari manta?” sedangkan mereka tidak bisa lagi melihat wujud aslinya di alam bebas. Lalu mereka akan bertanya “Apa saja yang kalian lakukan dulu sampai kami tidak dapat melihatnya lagi?”. Bukannya akan jadi sangat memalukan dan menujukkan kita sebagai generasi yang tidak bertanggung jawab. Saya kemudian teringat pada salah satu ungkapan Suku Indian yaitu sampai sungai terakhir yang mengalir, pohon terakhir yang bisa ditebang dan ikan terakhir yang diambil di lautan, manusia baru sadar bahwa uang tidak dapat membeli apapun. Jadi, bertanggung jawab pada alam bukan cuma menjaga keberlangsungan apa yang alam berikan, tapi wujud tanggung jawab pada generasi selanjutnya akan hak mereka. Hak melihat bumi yang hijau dan lestari.
Hhmm.. Keuangan lagi berat nih helen. Hahahaha… Berharap bisa cukup tabungan ke banda neira, padang, wakatobi sama nusa penida. Aamiin. Ada yg mau danain ga ya.. Hehehee