Tujuan berikutnya setelah menghitamkan diri di Riung adalah Wae Rebo. Perjalanan Riung menuju Wae Rebo ini jauuuuuuuh bgt. Berangkat jam 3 sore sampe Bajawa jam 7 malem. Lanjut jalan lagi jam 8 pagi dan mengarah ke Ruteng sampe di desa terakhir sebelum Wae Rebo (Desa Denge) jam 11 malem. Total 18 jam dari Riung sampe ke Denge.
Dengan alasan keamanan dan menikmati perjalanan (namanya juga lagi jalan-jalan kan ya, bukan acara Amazing Race), kami memutuskan untuk bermalam di Bajawa dan besok paginya baru jalan lagi menuju Ruteng.
Seingat saya, perjalanan dari Riung sampe ke Bajawa jalannya cukup bagus tapi sepi dan ga banyak pemandangan bagus kaya dari Ende ke Riung. Kenapa ga terlalu ingat juga? Karena kami semua capek abis berenang seharian di laut dan naik bukit buat foto-foto. Jadi sepanjang jalan tidur semua. hahahaha.
Sampai di Bajawa sekitar jam 7 malem. Bajawa ini hawanya lebih dingin dibangding kota-kota yang sudah kami singgahi. Dinginnya mirip kaya di Puncak lah. Saya mulai membayangkan peta Nusa Tenggara Timur yang saya beli sebelum berangkat trip. Kami pasti sedang berada di tengah-tengah Pulau Flores yang topografinya cenderung dataran tinggi.
Setelah masalah kesalahpahaman tentang hotel selesai, kami akhirnya makan. Nyari restoran khas Bajawa, tapi lama banget dan mereka kaya ga responsive. Halah pindah aja lah. Akhirnya ga jauh dari penginapan kami ada warung penyetan jawa. yeaaaay. Saya pesan apa? pastinya teh tawar panas. Minuman para dewa. hahahaha
Matahari sudah bersinar, saya dan Marsya memberanikan diri buat mandi. Airnya dingin banget dan heater di penginapan kami ga berfungsi. Well, saya sama Marsya ini sama-sama ga bisa berdamai sama udara dingin. Setelah selesai siap-siap dan sarapan super minimalis (telor rebus sama roti bakar. bahkan saya ga makan telor rebusnya. hahahaha), kami berangkat menuju Desa Bena untuk mampir sebentar dan kemudian menuju Ruteng.
Kota Bajawa ke Desa Bena ini tidak terlalu jauh, mungkin hanya 45 menit perjalanan. Sepanjang jalan kami melihat gunung yang cukup ikonik. Namanya Gunung Inerie (baca i-ne-ri-e). Karena di beberapa spot, gunung ini terlihat sangat cantik, kami memutuskan untuk berhenti sebentar dan … posee. hahahaha. Waktu kami turun dari mobil, ada seorang bapak-bapak yang pake sarung tenun, beliau sebenernya lagi jalan, tapi kemudian melewati kami. Beliau bertanya “Kalian sedang apa? mau kemana dan dari mana?” saya jawab “Kami dari Jakarta Bapak, mau ke Desa Bena untuk melihat-lihat. Kami ingin mengenal Flores”. Awalnya saya takut, beliau terkesan sedikit galak waktu awal berbicara, tapi kemudian beliau menjawab “Silahkan, ini tanah kalian juga, tanah Indonesia, silahkan lihat-lihat, jangan sungkan untuk minta tolong”… baik ya..
Dan sampailah kami di Desa Bena. Desa ini merupakan salah satu desa adat di Bajawa. Sebenarnya ada beberapa desa adat yang dapat dikunjungi, namun Bena adalah yang paling terkenal dan mudah aksesnya. Mobil wisatawan bisa masuk sampai ke pekarangan desa sehingga turis tidak perlu berjalan jauh.
Desa ini terdiri dari 40 rumah adat yang dihuni 40 kepala keluarga dan sekitar 200 penduduk. Setiap rumah, di atapnya ada semacam patung, yang menjadi penanda keluarga mereka. Ibu-ibu di Desa Bena ini berprofesi sebagai penenun. Tapi sayang tenunan mereka sudah cenderung komersil. Berbeda jauh apabila dibandingkan dengan tenun yang saya lihat di Sikka.

Penduduk di Desa Bena senang nyirih pinang. Jadi banyak pinang yang dijemur. Selain pinang ada kopi juga.
Desa Bena ini terletak di lereng bukit. Puncak tertinggi desa ini digunakan untuk tempat sembahyang. Terdapat sebuah Kapel kecil di puncak desa ini. Dari sana, kita bisa lihat Desa Bena secara keseluruhan.
Selesai melihat-lihat dan foto, saya tertarik melihat salah satu rumah yang memajang hasil tenun mereka. Warnanya cantik (maklum saya anaknya visual banget. liat yang warna warni dikit langsung kabita hehehehe). Biru muda dan merah terracotta.
Sang ibu maunya dipanggil mama. Beliau bercerita bahwa ibu-ibu di desa ini, bergabung dalam koperasi penenun. Pewarnaan cenderung sudah memakai pewarna sintetis namun ada juga yang masih alami (tapi harganya luar biasa mahal.. wajar sih.. kalo inget-inget ibu2 di Sikka mau ngewarnain pake pewarna alami sampe 3 tahun). Kalo di Desa Bena ini, ibu-ibu yang menenun cenderung solitaire. Mereka tidak berkelompok dan membagi tugas untuk menenun. Semua dilakukan sendiri di teras rumah mereka.
Selesai di Desa Bena, kami mengarah ke Ruteng. Mampir sebentar untuk beli sirsak hasil kebun penduduk dan mampir di Danau Ranamese. Ga turun ke bibir danau sih karena untuk turun butuh waktu yang lumayan dan banyak pacet (meeeen saya paling serem sama yang namanya pacet, lintah, ular-ularan.. makasih). Jadi kami foto dari atas aja. Danaunya juga sepi dan jadinya sedikit spooky. Kami juga mampir di Aimere, tempat pembuatan arak. Liat acara pembuatan arak dari pinang.
Biasanya saya mengasosiasikan sebuah lagu yang sering saya dengar selama perjalanan sebagai soundtrack perjalanan. Kali ini soundtrack nya adalah Ed Sheeran yang judulnya Small Bump. Lagu ini diputar entah berapa kali selama perjalanan kami dari  Bajawa ke Ruteng. hahahaha..
Masih jauh ternyata Ruteng.. sampe ketemu di Denge!!
-Nulis sambil dengerin streaming live show nya eva celia. bagus banget ya suaranya. ditambah aransemen indra lesmana. leleh lah lutut-
Hi Ajeng,
Seneng ya sudah kesana, jadi pengen traveling ke flores juga. Btw, boleh dong minta no contact tour guidenya.
Salam kenal,
ikoundeli
halo ikoundeli..
boleh banget. nama bang jodi. nomernya 081337833852 atau 081239574222