Penasaran ga sih kenapa saya tiba-tiba nulis lagi setelah hampir 2 tahun berhenti menulis di sini? Let me tell you a story sebentar ya.
Ajeng di masa kuliah.
Jadi, saya dulu termasuk aliran desperate romantic tingkat akut karena
1. Ternyata saya golongan darahnya AB yang katanya absurd dan katanya punya tingkat mood swing tinggi. hahahaha. Ini setengah benar setengah kurang tepat. Sebenarnya, setelah saya lebih berkaca diri, saya bukan mood swing tinggi, tapi saya terlalu perasa. Bukan galau, bukan emosional, tapi perasa. Sepertinya tingkat simpati empati saya pada level yang saya sendiri tidak bisa kendalikan.
2. Terlalu banyak menonton film Korea.
Bukan yang drama berseri-seri ya. Dari dulu saya sering banget nonton movie Korea karena ceritanya menarik, ga biasa dan sinematografinya punya tone yang memanjakan mata saya. Back then, sampe skrg ada dua kelemahan saya yaitu Gong Yoo dan Jo In Sung. Saya dan sahabat saya (temen dari jaman SMA, sekosan dan masih sering main sampe skrg) pernah nonton film Korea malam Sabtu sampe jam 3 pagi, nangis bareng dan jam 8 paginya saya harus menghadiri kelas tambahan Statistika (kalo dipikir-pikir, dulu saya belajar ga serius amat ya hahaha). Intinya dosis nonton saya parah bgt dulu hahaha. Tapi ga lebay kaya anak jaman skrg yang sampe hard core gitu. Level saya masih super ngefans aja bukan maniak hahaha.
Ajeng setelah kuliah
Lalu saya berusaha mengurangi nonton film Korea sejak sekitar taun 2012 lah. Kalo pun nonton ya paling satu dua aja itu juga milih-milih banget. Ditunjang dengan faktor dua aktor kelemahan saya itu lagi pada ikut Wamil, jadi pada ga main film baru lagi.
Sampe akhirnya awal tahun 2018 kmrn saya dicekokin adik-adik saya film drama Jo In Sung yang apparently ternyata bagus banget. Dem.. ini kaya ngebuka Pandora Box saya (tapi sampe skrg saya masih bisa nahan ga nonton Goblin yang ada Gong Yoo nya, terlalu mainstream, banyak yang suka saya malah males nonton) yang akhirnya membawa saya ke film lainnya.
Ini juga ditunjang karena kuota data saya untuk aplikasi Viu, banyaaaak bgt. Dengan motif lainnya saya ga mau nambahin keuntungan provider saya, mending saya abisin kan. Dan pilihan saya berhenti di film SILENCED dengan aktornya Gong Yoo. Film ini membuat saya sangat resah setelahnya (bahkan sampai saya menulis tulisan ini).
Well film ini udh cukup lama tayang di Korea sana. Release sekitar tahun 2011 dan diangkat dari buku berdasarkan kisah nyata. Saya yang akhir-akhir ini terobsesi dengan segala hal yang berbau “kisah nyata” jadi makin penasaran dong. Setelah liat reviewnya, oke lah mari kita nonton. Dan berakhir dengan ..
Tangisan air mata di tengah malam yang tidak bisa dibendung.. Sedih banget ditambah dengan kenyataan bahwa kejadian di film ini betul-betul terjadi (dan gimmick Gong Yoo-nya super tampan di film ini. Best version of Gong Yoo so far menurut saya hahaha).

picture from Asianwiki
Film ini bercerita tentang seorang guru seni yang mengajar di sekolah asrama akademi untuk anak-anak umur Sekolah Dasar yang memiliki keterbatasan tidak bisa mendengar dan bicara. Tuna rungu dan bisu. Baru di awal-awal masa mengajarnya, sang guru menemukan kenyataan bahwa ada hal yang aneh yang terjadi di sekolah yang ia ajar. Anak-anak di sekolah itu seperti mengalami trauma yang dalam. Setelah berbagai kejadian, sang guru akhirnya sadar bahwa anak-anak ini pernah mengalami pelecehan seksual oleh para guru dan kepala sekolahnya. Men even kepala sekolahnya udh umur paruh baya. Film ini lebih menceritakan bagaimana jalannya proses peradilan antara anak-anak korban versus para tersangka. Akhirnya gimana, nonton sendiri ya. Bagus bgt lah.
Menariknya dari film ini adalah karena jalan cerita, akting dan sinematografi yang bagus akhirnya menarik perhatian masyarakat di Korsel sana untuk bikin petisi yang memaksa pemerintah merevisi undang-undang tentang pelecehan seksual anak-anak dan anak yang berkebutuhan khusus. Karena film ini juga akhirnya kasus-kasus yang terjadi di sekolah itu dibuka lagi dan diinvestigasi lebih dalam. Meskipun tidak memberikan keadilan yang lebih baik buat korban yang pertama membuka kasus ini ke publik, tapi paling engga memberikan harapan bagi korban-korban lain yang mencari keadilan.
Di akhir film, saya cuma bisa membatin, kenapa bisa orang sejahat ini, setega itu dan kenapa sulit sekali untuk manusia lebih empati pada orang lain yang kurang beruntung dibanding dirinya. Kenapa manusia cenderung untuk mengambil keuntungan dari orang lain yang lebih tidak berdaya. Dan jutaan pertanyaan kenapa lainnya.
Tidak bisakah kita hidup dengan lebih damai, lebih peka terhadap orang lain, lebih mau berbagi dan empati dengan sesama. Bisakah?
ps. untuk yang penasaran, bisa searching tentang “Gwangju Inhwa Scandal” atau “Dogani Bill”