Tentang Romansa

 

img_0395

somewhere around kanawa island. personal photo

[Disclaimer : tulisan ini mengandung spoiler ending dari film Me Before You. Jika anda ingin menonton film ini sendiri, saya sarankan untuk melongkap beberapa paragraf di tengah tulisan ini. ]

Ya, saya tau lebih baik membaca buku dibandingkan menonton film. Tapi kadang otak saya lelah membaca untaian kata-kata dan menerjemahkan dalam imajinasi pribadi untuk bisa memahami apa yang saya baca. Otak saya sepertinya lebih bisa mencerna sesuatu informasi dalam bentuk gambar, gerak, warna atau rangsangan visual lainnya.

Menyenangkan rasanya tidak perlu berpikir keras dan tinggal mencerna apa yang kita lihat saja tanpa harus merengut karena ternyata imajinasi yang kita bayangkan tidak sesuai ketika diinterpretasikan oleh orang lain. Memang beberapa orang lebih memilih membaca buku dan hidup dalam imajinasi mereka dan ketika buku yang mereka baca dibuat dalam bentuk film. mereka kecewa. Itu kan masalah setiap film yang diadaptasi dari novel.

Well ya saya tetap lebih suka menonton film. Film yang saya tonton sepertinya dua kali lipat lebih banyak dibanding buku yang saya baca. Saya masih berusaha menjaga proporsi ini untuk menjaga otak saya terlalu malas berimajinasi.

Cukup dengan prolognya. Jadi. semalam ketika saya pulang dari kantor, jarang-jarang saya bisa memiliki waktu luang beberapa jam di malam hari karena sebagian besar hari saya biasanya baru mengganti pakaian kantor dengan piyama tidur rata-rata sekitar pukul 11 malam dan praktis saya tidak memiliki cukup energi lagi untuk melakukan aktivitas lain selain membaringkan punggung saya di kasur, saya memutuskan untuk menonton film yang belum sempat saya tonton di bioskop karena berbagai hal, biasanya karena film itu terlalu cepat turun dari layar atau memang saya sedang tidak ada waktu untuk menonton film (jangan tanya dengan siapa. saya salah satu orang yang menganut paham tidak masalah menonton film sendiri. well ya ini juga bagian dari justifikasi diri karena tidak memiliki pacar untuk menonton bersama. hahahaha). Kali ini saya memilih Me Before You yang merupakan adaptasi dari novel dengan judul yang sama karangan Jojo Moyes.

Saya berusaha tidak mencari resensi apapun dan tidak mencari tau tentang apa filmnya. Saya cuma melihat penjelasan bagian genre film yang menulis romance drama. Wah sepertinya menarik. Saya pikir sudah lama saya tidak menonton film romance yang cukup bagus selain beberapa film box office korea yang sarat cerita roman. Semoga bagus.

Setengah pertama perjalanan film cukup menarik dan ringan. Terlepas dari tergelitiknya pikiran saya mengenai alur cerita film ini yang menerangkan penokohan tokohnya sebagai pria kaya (luar biasa kaya bahkan punya kastil sendiri) di Inggris sana yang lumpuh karena kecelakaan, membenci dirinya setengah mati karena lumpuh dan sang gadis lebih muda beberapa tahun darinya yang berasal dari keluarga sederhana dengan kemelut persoalan ekonomi menjadi inti masalah setiap hari. Anda pasti bisa menebak ke mana arah film ini akan menuju. Ya mereka berdua saling jatuh cinta.

Masalah muncul ketika sang gadis tau bahwa sang pria kaya bertekad mengakhiri hidupnya saja karena merasa itu bukan hidupnya lagi setelah kecelakaan. Oke air mata saya mulai menggenang di ujung mata. Tenggorokan saya mulai tercekat. Saya memang sedikit cengeng untuk masalah emosi. Mudah sekali buat saya untuk menangis hanya karena film Good Dino atau How to Train Your Dragon.

Sang gadis berusaha mengubah keputusan sang pria. Mereka melakukan perjalanan ke tempat-tempat eksotis dan melakukan banyak hal yang menyenangkan. Ya hal ini menjadi mudah, uang bukan halangan mengingat sang pria berasal dari keluarga yang bahkan membeli pulau saja mereka mampu. Bagaimana jika tingkat kesulitannya saya naikkan dengan mengubah status sang pria menjadi golongan keluarga biasa saja. Rasanya roman ini tidak akan berjalan lancar. hahahahaha.

Awalnya saya hanya berkaca-kaca. Sampai pada satu scene di mana mengingatkan saya kepada memori dua tahun lalu. Dan sejak scene ini, air mata saya menjadi tidak terbendung.

Beberapa helai tissue saya habiskan, obat jerawat yang saya pakai leleh karena air mata. Saya tidak tau apa yang saya tangisi. Akhir cerita film yang menyedihkan atau fakta yang akhirnya saya sadari bahwa saya tidak ke mana-mana sejak dua tahun lalu. Fakta bahwa sepertinya saya hanya membohongi diri sendiri, pura-pura tidak terjadi apa-apa dan menginvestasikan perasaan pada hal-hal yang saya tau pada akhirnya bukan yang saya inginkan. Sepertinya keduanya.

Saya benci efek dari menonton film ini.

Lalu saya sadar bukankah semua film romansa itu tentang kesedihan, akhir yang pedih dan penuh air mata ya. Harusnya saya sadar itu dari awal.

28/09/2016

Melarikan diri di Jakarta

Agaknya judul tulisan ini cukup ironi ya. Bagaimana bisa kita melarikan diri tapi tetap di Jakarta? Tapi bukannya kita semua butuh jeda spasi dalam rentetan perlombaan setiap hari menjalani hidup di Ibu Kota tanpa harus jauh-jauh berkendara ke Sentul atau Gunung Salak sana, membuang jatah cuti yang tidak seberapa, dan mengorbankan produktivitas. Kita bisa tetap “kabur” dengan tetap mendapatkan semua fasilitas jempolan ala Jakarta dengan sedikit strategi yang pintar. Bagaimana caranya “kabur” di tengah-tengah rutinitas? Yaitu dengan tinggal di jantungnya.

Beberapa teman saya sengaja mengasingkan diri mereka ke hotel tertentu hanya agar bisa fokus mengerjakan dead line mereka atau sekedar menjernihkan akhir pekan mereka dengan keheningan ala kamar hotel yang sunyi atau kadang ia bersama tim kantornya menyewa kamar hotel untuk berkumpul dan lembur mengerjakan proposal mereka. Tapi siapa yang sanggup jauh-jauh dari semua kemudahan fasilitas hidup? Jadi menghilang ke tengah hutan atau pelosok pedesaan sepertinya bukan solusi jangka pendek yang baik untuk menghilang ya.

morissey-1

Sumber : iammorrissey.co

Salah satu sanctuary menarik di jantung ibu kota yang bisa anda coba. Lokasinya di Jalan KH Wahid Hasyim No. 70 Menteng Jakarta Pusat. Namanya Morrissey Hotel Residences. Ini bukan sekedar hotel tapi lebih mirip kepada apartemen nyaman ala reseidensial dengan pelayanan serviced apartment. Arsitekturnya unik dan menarik. Anda akan dengan mudah menemukannya di tengah-tengah gedung lainnya.

Sepertinya hotel ini memang diperuntukkan bagi berbagai tipe penghuni ibu kota yang membutuhkan ketenangan. Tipe kamar di hotel ini disesuaikan dengan kebutuhan tamu yang datang mulai dari tipe Studio Queen, Studio Luxe, The loft dan The apartment. Jangan khawatir dengan fasilitasnya, seluruh kamar sudah dilengkapi dengan living room dan kitchen set yang cukup lengkap. Yang pasti, anda akan menemukan keheningan yang meningkatkan produktivitas di sana.

morissey-2

Studio Queen Bed Room | Sumber iammorrissey.co

morissey-3

Studio Kitchen Set | Sumber : iammorrissey.co

morissey-4

City Luxe Bedroom | Sumber : iammorrissey.co

morissey-5

City Loft Living Room | Sumber : iammorrissey.co

morissey-6

The Apartment Living Room | Sumber : iammorrissey.co

morissey-7

Sumber : iammorrissey.co

Kamar-kamar ini juga dilengkapi dengan berbagai teknologi penunjang kehidupan seperti wifi, TV LCD, DVD, Brankas, hairdyer dan lain-lain. Cukup bawa diri anda, beberapa helai pakaian dan laptop maka anda akan siap menghasilkan sesuatu sepulang dari sini.

Anda juga akan mendapatkan fasilitas breakfast untuk 2 orang, complimentary non-accumulative 4 pieces laundry per day, free usage of laundry room, free access to swimming pool and fitness center. Jika anda tidak terlalu percaya dengan orang lain untuk menangani pakaian anda, bisa juga menggunakan fasilitas Self – Service Laundrette

Betul-betul tempat yang tepat untuk melarikan diri kan? Anda tidak perlu pergi ke mana pun untuk menghabiskan waktu anda atau mencari kebutuhan yang anda butuhkan. Anda juga bisa menghabiskan waktu dengan sekedar duduk-duduk di Resident’s Lounge atau mencari inspirasi di pusat bisnis.

morissey-8

Resident Lounge | Sumber : iammorrissey.co

Jika anda betul-betul butuh untuk keluar dari sanctuary ini, banyak pilihan transportasi yang dapat anda gunakan salah satunya adalah sepeda dan Ed. Apa itu Ed? Ini menarik, Ed adalah bajaj yang telah dimodifikasi oleh Morrissey Hotel Residences. Bisa dibilang ini adalah bajaj modern yang simple dan elegan. Jauh dari kesan kotor dan tidak ramah lingkungan. Anda bisa berkendara dengan Ed bersama teman anda karena bajaj ini cukup luas dan dapat digunakan untuk dua orang. Jadi bisa merasakan suasana khas jalanan ibu kota dengan lebih holistic.

morissey-9

Meet Ed | Sumber : traveldetik.com

Apa yang bisa anda lakukan di sekitar lokasi hotel ini? salah satunya adalah mengunjungi salah satu patung yang tersohor di Jakarta yaitu patung Tugu Tani. Patung ini memiliki kisah yang menarik. Sebenarnya, patung tersebut adalah buatan Matvey Genrikhovich Manizer, seorang pemahat patung terkenal di Uni Soviet. Pada tahun 1959 pejabat Uni Soviet memperkenalkan Matvey kepada Presiden Soekarno yang sedang melakukan kunjungan kewarganegaraan.

morissey-10

Tugu Tani atau Tugu Pahlawan | Sumber : epicentrumworld.wordpress.com

Kita tau, presiden pertama kita itu sangat menyukai dan menghargai karya seni. Soekarno merasa tertarik dengan patung – patung yang berada di Uni Soviet. Lalu Matvey diundang ke Indonesia, untuk membuat karya yang menggambarkan keadaan bangsa Indonesia. Matvey pun datang ke Indonesia dalam rangka mencari inspirasi, hingga akhirnya Matvey terpesona oleh cerita perjuangan rakyat. Cerita tentang seorang ibu yang mendukung anaknya pergi berperang demi kemerdekaan bangsanya. Sang ibu tersebut pun membekali anaknya dengan makanan dan harapan.

 

Setelah mendapat inspirasi Matvey pun kembali ke Moskow untuk membuat patung tersebut, kemudian pada tahun 1963 patung tersebut telah berhasil diselesaikan dan dikirim melalui kapal laut. Patung itu diberikan sebagai tanda persahabatan Moskow – Jakarta. Lalu Soekarno melengkapi karya ini dengan menambahkan kata – kata “Hanja Bangsa Jang Menghargai Pahlawan Pahlawannja Dapat Menjadi Bangsa Jang Besar”.

Jadi, selain berlibur dan mengasingkan diri, kita juga bisa belajar sedikit tentang sejarah kecil bangsa kita dengan mengunjungi situs bersejarah di sekitar Morrissey Hotel Residences.

Anda bisa coba sendiri pengalaman menarik ini dengan memesan langsung kamar yang anda inginkan di sini

Selamat melarikan diri, Jakartans

 

Sendal Jepit

image1

Photo by Ajeng Karina Sari

Sebentar lagi lebaran, bagi para jomblo (seperti saya..), mungkin akan menjadi saat yang paling menakutkan dan membosankan.

Kenapa takut? karena akan diberondong berjuta-juta pertanyaan seputar “kapan nikah? kenapa ga bawa pacar? kenapa belom nikah? and the bla and the bla..”

Kenapa bosan? karena pertanyaan seperti ini telah berulang sejak lebaran beberapa tahun yang lalu. Sejak saya dianggap cukup dewasa untuk menikah.. hahahaha

Cukup curhatannya.

Jadi beberapa hari yang lalu, di halaman path saya, ada yang mengunggah foto tentang sendal jepit dengan quote

“Cari itu yang seperti sendal jepit. Bentuknya ga bagus-bagus amat tapi NYAMAN”

that time, when i saw that picture, i laughed. i dont know what i laughed for. it isnt funny either. Tapi tulisan ini betul sekali menurut saya. Saya punya sendal jepit yang biasa saya bawa pergi ke mana pun saya melangkahkan kaki ketika berpergian. Sendal itu sudah saya beli sejak 5 tahun yang lalu. Sampai sekarang, jika sendal tersebut menghilang dari tempatnya dan tidak saya temukan ketika membutuhkan, saya akan kepikiran sampai saya temukan lagi. Mencari model tersebut sekarang pun tidak saya temukan lagi. Saya takut sendal saya itu hilang betulan. Saya harus segera menemukan penggantinya. Tapi ternyata sulit. Satu hal, saya nyaman dengan sendal saya itu.

Saya teringat dengan jawaban pamungkas saya jika ada yang bertanya “nyari yang kaya gimana sih? milih-milih ya?” saya akan menjawab “engga kok. cuma cari yang nyaman aja diajak ngobrol”.

Jawaban klise? bukan. Memang betul kan? Bagaimana mungkin saya akan menghabiskan waktu seumur hidup nanti bersama orang yang tidak nyaman buat saya. Tidak bisa diajak bicara dengan santai, pembicaraan kami tidak satu frekuensi, humor kering yang tidak sevisi.. Saya tipe orang yang senang berbicara dengan orang lain. Saya butuh bicara untuk menyelesaikan masalah saya dan i need someone who wants to listen when i feel low.

Saya pernah membaca sebuah artikel tentang nasihat pernikahan yang awet. Nasihat yang paling utama adalah kurangi daftar kriteria yang kamu inginkan dari pasangan sampai tersisa tiga hal yang paling kamu tidak bisa toleransi dan prinsip. Tulis sedetil mungkin dan hindari menuliskan hal yang formatif seperti “saya ingin pasangan yang baik”. Baik ini relatif kan dan siapa juga di dunia ini yang ingin menikahi orang yang tidak baik?

Sejak dulu saya memang tidak pernah membuat standar tertentu tentang fisik. Buat saya tiga besar hal yang paling saya adalah inginkan seputar agama, kecocokan mind set hidup (paling tidak, enak diajak bicara dan wawasannya luas, boleh?), dan tidak menganggap saya gila. hahaha. Ini penting. Saya kadang bisa berlaku sangat random, berpikir sangat liar dan memutuskan sesuatu dengan pemikiran yang dangkal, ciri khas tipe golongan darah AB. Saya perlu orang yang mendukung semua hal tersebut.

Bonusnya saya berharap pasangan saya nanti punya hobi yang sama. Suka pergi berkelana ke tempat paling menantang sekalipun. Suka diving, bonus lainnya. hehehehe.

Sama seperti semua sendal jepit saya. Saya senang dengan sendal jepit yang berwarna-warni. Saya senang sendal jepit yang berbeda dengan sendal jepit dua warna kebanyakan di pasaran. Pada dasarnya saya memang tidak suka dengan sesuatu yang banyak dipakai orang. hehehehe.

Entah kenapa tulisan ini jadi seperti menuliskan daftar pilihan saya ya. hahahaha.
So, young man and woman, mari temukan “sendal jepit” kita masing-masing..

Why we choose Ojek Aplikasi over Ojek Pangkalan?

A Gojek driver rides his motorcycle through a business district street in Jakarta

foto dari malesbanget.com

Ramai diperbincangkan beberapa bulan yang lalu tentang isu sosial yang terjadi di Ibu Kota kita tercinta, Jakarta. Masih ada yang ingat? Tentang pergolakan sosial akibat aplikasi online transportasi versus incumbent yang mana kali ini dimainkan perannya oleh para ojek pangkalan.

Masalah terjadi biasanya karena incumbent merasa tersaingi dan insecure atas pendapatannya yang ditakutkan akan berkurang. Well memang berkurang sepertinya karena begitu munculnya aplikasi ojek, berbondong-bondong ojek menjadi pilihan alternatif utama menembus kemacetan ibukota.

Tidak, saya tidak akan membahas mengenai fenomena Gojek dilihat dari teori ekonomi. Tulisan ini murni pengalaman pribadi saya dan observasi yang saya amati selama Gojek beroperasi sampai saat ini.

Sebenarnya apa yang membuat sebagian orang memilih Gojek atau aplikasi online lainnya?
1. Alasannya bisa saja karena harganya yang lumayan lebih murah. Contoh nyata, dengan jarak yang sama (sekitar 12 km) dari stasiun kereta ke rumah saya, biasanya saya membayar Rp 20 – 25 ribu sedangkan dengan aplikasi ojek, tagihan saya hanya berkisar Rp 12 ribu, flat.

2. Servis yang diberikan oleh para pengemudi ojek aplikasi jauh lebih baik. Bagi saya, helm yang bersih adalah hal wajib saat waktu mengendarai ojek dan para pengemudi ojek aplikasi selalu menyediakan helm penumpang yang bersih (bahkan masker jika anda memerlukannya). Jelas ini tidak mungkin terjadi dalam teori ekonomi manapun di mana servis yang baik dan harga murah selalu berbanding terbalik bukan? tapi toh ternyata mereka bisa melakukannya.

3. Teknologi mendekatkan mereka kepada kami yang membutuhkan. Transportasi sepertinya sudah menjadi kebutuhan semi primer saat ini (disamping colokan, chargeran, dan sinyal tentunya..). Ojek aplikasi memahami betul bagaimana membuat para pelanggannya bergantung dengan jasa mereka. Hadirlah di dalam ponsel pintar, jadi ke mana pun menjadi solusi permasalahan yang paling cepat dan dapat diandalkan.

ya. ketiga poin di atas sudah sering anda baca dalam berbagai ulasan lainnya bukan? bagi saya, satu hal lagi yang paling penting kenapa saya memilih ojek aplikasi.
a] Aplikasi transportasi membuat para driver lebih produktif. Mereka akan mengejar trip sebanyak mungkin untuk mengumpulkan pendapatan. Beberapa kali saya berbincang dengan para driver selama menggunakan jasa mereka. Hampir semuanya menceritakan perjuangan mereka setiap hari untuk mengumpulkan trip pengantaran. Adil bukan? Rejeki lebih banyak untuk yang mau berjuang lebih keras.

b] Para driver mengendarai kendaraan lebih sopan dan hati-hati. Mereka sadar bahwa pengalaman dan testimoni konsumen penting bagi mereka. Semoga ini bukan keberuntungan saya semata saja ya. Semoga seluruh driver nya memang dilatih untuk seperti ini.

c] Yang paling penting bagi saya,

para pengemudi transportasi online, tidak pernah meminta lebih dari apa yang ditagihkan kepada penumpangnya. Mereka lebih bersyukur dengan apa yang diberikan.

ini penting bagi saya. Saya kesal dengan ojek konvensional yang selalu mengajukan harga di depan dan mematok lebih tinggi dari biasanya seakan saya orang baru kemarin sore yang menggunakan jasa mereka dengan dalih “biasanya juga segitu mbak..” jawaban saya selalu “yeee.. tiap hari juga saya bayarnya segitu bang..” lalu mereka akan menolak saya.

Bukan penolakannya yang saya soroti. Tapi bagaimana mereka merasa lebih punya bargaining power dibandingkan konsumennya. Padahal ketika membayar biaya perjalanan dengan aplikasi online juga pasti saya lebihkan. Melebihi yang biasa saya bayar kepada ojek konvensional. Bukannya riya. Tapi saya ingin mengapresiasi keramahan dan servis lainnya yang diberikan. Saya dengan sukarela memberikan uang lebih kepada mereka. Dan sepertinya hampir sebagian besar orang sekeliling yang saya perhatikan juga melakukan hal yang sama. Memberikan uang lebih kepada pengemudi ojek aplikasi yang mereka gunakan.

Sama seperti dalam dunia sehari – hari kan. Itu yang namanya attitude. Tidak meminta lebih untuk pekerjaan yang memang menjadi tugas kita. Semangat terus bapak ibu driver ojek aplikasi.

 

Kepingan yang terasing di lautan

IMG_7898

Untuk anak yang tumbuh kembang di tahun 90-an menuju 2000-an awal, di mana AADC adalah sebuah film wajib yang menentukan standar ke-gaul-an seseorang di masanya, pasti tau punch line yang menjadi judul postingan ini. Ada yang tau? Iya ini penggalan lirik lagu Pas Band yang judulnya Kesepian Kita.

Hidup ini hanya kepingan yang tersaing di lautan. Memaksa kita memendam kepedihan.

Sebenarnya banyak sekali yang ingin saya tulis belakangan ini. Mulai dari catatan perjalanan, cerita tentang aktivitas, mimpi-mimpi, hal-hal sederhana yang menarik, sampai suara-suara di otak yang sering timbul tenggelam meminta untuk diperhatikan. Lagi-lagi saya terlalu malas untuk merangkai semua hal itu.

Saya menjadi pribadi yang sinis kepada hidup akhir-akhir ini. Saya tidak lagi sepercaya itu pada mimpi yang dulu sepertinya saya tidak bisa hidup tanpanya. Saya tidak lagi tertarik dengan perjalanan ramai hingar bingar penuh canda tawa. Saya tidak lagi semangat bertemu dengan teman-teman lama dengan segudang pertanyaan detil penuh rasa ingin tahu. Saya tidak lagi semangat berdoa panjang lebar meminta banyak hal pada Tuhan.

Kini doa saya semakin pendek. Saya tidak lagi memasukkan banyak hal di dalamnya. Hanya meminta kebahagiaan dan ketenangan hati (tentu kesehatan untuk keluarga pula). Kini saya lebih memilih untuk pergi menyendiri yang jauh bersama teman-teman baru yang tidak banyak bertanya tentang kehidupan pribadi. Kini saya lebih banyak mencoreti daftar mimpi-mimpi yang biasanya saya tulis sepanjang jalan kenangan sangking banyaknya. Kini saya lebih banyak diam dan mendengarkan sekeliling berceloteh tanpa akhir dibanding berbicara penuh semangat seperti biasanya. Kini saya berhenti mendengatkan lagu-lagu baru yang tidak lagi saya pahami nada-nadanya. Bahkan resolusi tahun 2016 belum selesai saya buat. Ini sudah bulan Juni padahal. Biasanya saya akan menuliskan barisan keinginan pencapaian yang ingin dicapai sebelum tahun sebelumnya habis dan saat tahun baru tiba saya akan menempelkannya di cermin terdekat yang dapat saya lihat setiap hari.

Aneh. Saya tidak pernah seperti ini sebelumnya. Betul-betul seperti kepingan yang terasing di lautan.

Sering sekali belakangan ini saya bermimpi menjadi Peterpan yang tinggal di Neverland. Berlarian ke sana ke mari tanpa ada batasan. Atau seperti Ibunya Hiccup di film How to train your dragon yang memilih menjadi pelatih naga-naga.

Tidak, saya tidak mengeluh tentang pekerjaan saya atau kehidupan sehari-hari yang membosankan dengan rangkaian yang bisa ditebak antara rumah – stasiun -kereta berdesakan – angkutan umum ugal-ugalan – tugas kantor menjemukan – pulang dengan rute yang sama. Diulang setiap hari. Saya tidak mengeluh. Saya cukup sabar untuk menjalani semua itu.

Tapi rasanya seperti apa ya.. Seperti kosong..
Seperti kepingan plat logam tipis yang mengapung di lautan pikiran saya sendiri.
Tanpa jiwa.
Tanpa ambisi.