
— catatan perjalanan Flores Overland —
(Spoiler, mungkin ini akan jadi tulisan saya yang paling panjang seputar perjalanan di Flores)
Jam di mobil kami menunjukkan pukul 15.30 ketika memasuki Kota Ruteng. Agenda kami di kota ini cukup padat. Saya harus ke ATM untuk menyelesaikan beberapa urusan pembayaran akhir bulan. Kami perlu mampir ke rumah makan untuk membeli ransum makan malam karena di desa tujuan kami berikutnya tidak ada rumah makan. Kami juga harus ke swalayan terdekat untuk membeli perbekalan. Sedangkan kami harus mengejar matahari sebelum tenggelam untuk sampai ke Cancar. Apabila sampai Cancar matahari sudah terlanjur turun, kami tidak bisa melihat apapun.
Setelah semua urusan di kota selesai, kami segera mengarah ke Cancar. Sebenarnya sepanjang perjalanan di Kota Ruteng ini cukup indah. Banyak lokasi sawah-sawah yang cantik. Tapi sayang kami harus mengejar matahari sebelum tenggelam. Setelah adegan ngebut-ngebutan oleh pembalap handal kami, Bang jodi, akhirnya sampai juga di Cancar.

Cancar, Ruteng, Flores
Apa sih Cancar ini? Jadi Cancar ini terkenal dengan lokasi pesawahan yang berbentuk sarang laba-laba. Sawah di beberapa daerah lainnya di Indonesia, biasanya berbentuk kotak, persegi atau berundak-undak dengan bentuk yang jelas entah itu kotak atau persegi panjang. Tapi di Cancar ini lain, bentuknya seperti pizza bulat yang dipotong segi tiga sama kaki. Kata Marsya, Cancar ini kaya setting lokasi syuting Lord of the Rings bagian Middle Earth. hahahaha.

Untuk sampai di Cancar, dari kota Ruteng, perlu perjalanan sekitar 45 menit ke kaki bukit kemudian mendaki sebentar sekitar 15 menit. Ga terlalu jauh kok. Cuma agak curam. Itu yang bikin ngosngosan. Sampe di atas… taraaaaaa… ajaib banget..

Selesai dari Cancar, matahari semakin redup, kami segera melaju ke Denge. Perjalanan kami masih sangat jauh ditambah Bang Jodi sakit gigi. Well, kami cuma berharap bisa sampe Denge dengan selamat. aamiin.
Perjalanan menuju Denge ini agak spooky. sepi. hutan semua. Sampe di suatu titik di mana saya pengen pipis banget tapi pastinya ga ada kamar mandi. Akhirnya memberanikan diri untuk pipis di balik batu besar. Apa yang bikin takut? ular saudara-saudaraaa. mana itu malem-malem gelap di tengah hutan. Untungnya tidak sepanjang jalan kami melewati hutan. Kami sempat melewati desa kecil yang sedang ada hajatan. Kami berhenti sebentar karena ingin melihat bintang bertaburan. Kami penasaran pengen foto milky way. Akhirnya Dika, kembali naik ke atap mobil untuk mencoba peruntungan mengambil gambar milky way. Saya bagian telpon ke teman saya di Makassar yang lagi trip juga ke selayar. Nanya teknis settingan kamera supaya bisa nangkep si milky way. Ternyata susah. hahahaha.
Perjalanan pun dilanjutkan. Saya tidak ingat banyak karena tertidur. Seingat saya, Bang Josi sempat beberapa membanting stir menghindari lobang dan jurang. Hujan lebat di beberapa titik dan pembicaraan tidak terlalu jelas dengan teman Bang Jodi.
Akhirnya pukul 11 malam, kami sampai di penginapan di Denge. rasanya saya ingin sujud sukur. Pengen banget mandi dan naro punggung, sekedar meluruskan pinggang dan kaki. Kami akhirnya makan malam setelah sekian lama menanti sampai di lokasi penginapan. Ditemani Pak Blasius, pemilik penginapan, kami makan makanan yang kami beli di Kota Ruteng tadi sore. Beliau bercerita medan ke Wae Rebo dan berbagai tips untuk mendaki ke sana. Beliau ini adalah seorang putra daerah Wae Rebo yang mengembangkan sarana pendukung wisatawan di Desa Denge. Desa Denge ini adalah desa terakhir yang bisa dicapai mobil sebelum akhirnya para pengunjung harus berjalan kaki sampai ke Wae Rebo. Pak Blasius bercerita bahwa medan cukup berat dan kami harus bangun pagi-pagi supaya sempat untuk turun ke bawah sebelum sore. Pada awalnya kami berniat untuk menginap di atas, tapi karena ingin mengejar Pulau Kanawa, kami harus mengorbankan menginap di Wae Rebo dan melakukan perjalanan satu hari.
Beliau bercerita bahwa medan sangat licin dan banyak pacet. Saya sempat begidik. Alam, salah satu peserta trip, adalah orang yang paling suka gombal, kalo ngomong selalu diserempetin masalah hati, menimpali Pak Blasius “Banyak ga pak pacet nya?” Kata Pak Blasius “Ga papa kok pacetnya nanti kalo udah puas juga dia jatuh sendiri, kalian juga harus nemuin pacet, pacet batin, supaya ngisep terus di hati” eaaaaaa yak eeee.. kenapa dia jadi ikutan gombal. hahahaha.
Setelah makan dan mandi, kami pun tidur, bersiap untuk perjalanan jauh esok hari. Kami harus bangun pagi-pagi. Esoknya, pukul 5.30 saya sudah bangun dan bersiap. Pak Blasius sudah membuatkan kami sarapan. Pukul 6.30 kami bersiap untuk naik. Persiapan kami sudah sangat lengkap, mulai dari coklat penambah energi, madu, air mineral, permen sampe sepatu olah raga (yang kemudian saya sesali karena licin bangeeet jadinya kalo pake running shoes. hahahahaha). Tebak, guide kami pake apa? cuma SENDAL JEPIT tanpa bawa apa-apa lagi. Luar biasa ya..
Perjalanan dimulai. Pendakian dari Desa Denge sampe ke pos satu lumayan panjang, mendaki terus tanpa ada bonus track datar. Sulit rasanya menyesuaikan langkah dengan sang guide. Napas saya memburu. Sampai di pos 1 kami beristirahat sebentar untuk minum. Bersama grup kami, ada sepasang wisatawan asing yang juga akan naik ke Wae Rebo.

Pos satu, muka masih pada sumringah..
Pos satu menuju pos dua ini lebih sulit lagi. Kenapa? semakin masuk ke dalam, hutan semakin rapat, tanah semakin licin dan diselingin beberapa kali gerimis, dan akhirnya pacet itu pun menyerang saya. hahahaha. padahal kaki udah ketutup rapet. tetep aja ada dua pacet yang berhasil masuk ke dalem kaos kaki.
Pos dua ke pos tiga sedikit lebih mudah, banyak bonus track di beberapa titik dan saya bisa melihat sudah sejauh apa perjalanan. hope management penting untuk masa seperti ini. saya butuh harapan untuk bisa terus naik. hahahaha.

Pos Dua, mau senyum aja kudu dipaksa dulu. Energi udah abis.. hahaha

Ini dia bonus yang akan kamu dapatkan ketika berhasil mencapai pos 2.
Jalur mulai datar dan berkelok-kelok mengikuti bentuk gunung yang kami sisiri. Lama-lama di kejauhan, di sebuah tikungan, Kerucut-kerucut hitam mulai terlihat samar-samar di balik awan. yeaaaaaaaaay itu Wae Rebo udah keliatan. Saya sedikit mempercepat langkah.
Sampai di pos terakhir, kami perlu diam sebentar untuk membunyikan kentongan sebagai penanda ke desa bahwa ada pengunjung, kalau di bawah sudah siap, mereka akan membunyikan balasan dan kami baru boleh turun. Lumayan buat istirahat dan ngatur napas.

Semacem pintu masuk, para tamu harus membunyikan kelontong agar didengar warga desa, apabila diijinkan, maka tamu boleh masuk ke desa.
Lalu kami berjalan sedikit dan taraaaaaaaaa. Terhampar di depan kami, tujuh rumah adat Wae Rebo yang ikonik. Saya dan Marsya langsung duduk di depan rumah paling besar. Mau copot rasanya kaki kami. Total perjalanan kami dari Desa Denge sampai  ke Wae Rebo sekitar 3 jam 30 menit, pace yang lumayan cepat untuk pemula. Untungnya kami ga sampe empat jam lebih.

Maafkan muka kami ya pemirsa.. ga bisa dikontrol. capek banget..
Seluruh tamu diarahkan ke rumah yang paling besar. Rumah ini adlaah rumah kepala desa yang digunakan untuk menerima tamu desa. Beliau berbicara sebentar dalam bahasa Manggarai yang tidak kami pahami. Kemudian kami diarahkan menuju salah satu rumah yang digunakan untuk singgah para tamu. Di rumah ini para tamu akan makan dan menginap.
Kami langsung berkeliling Wae Rebo. Ngapain? cari spot foto dong.. hehehehe.

Majestic Wae Rebo
Sebagian besar warga di Waerebo ini berkebun kopi. Kopinya enak, cenderung light dan ga sepahit kopi Sumatra dan tidak seasam kopi Toraja. Rumah adat Wae Rebo disebut Mbaru Niang. Jumlahnya ada tujuh dan tidak dapat ditambah. Dalam satu rumah, terdapat beberapa keluarga yang menempati rumah tersebut. Mereka berbagi kamar-kamar dengan keluarga lain. Dalam satu rumah kerucut, terdapat tiga tingkat. Lantai paling dasar digunakan untuk kegiatan sehari-hari. Lantai kedua untuk menyimpan hasil kebun dan peralatan rumah. Lantai paling atas digunakan untuk menyimpan sesaji.

Akhirnya, Mas Katon Bagaskara, saya tau bagaimana rasanya nyanyi Negeri di Awan 🙂
Cerita di balik pelestarian rumah adat Wae Rebo ini cukup heroik. Sampai tahun 2010, Mbaru Niang ini belum banyak diketahui orang. Tidak banyak rekam jejak tentang Wae Rebo di dunia maya. Sampai salah satu arsitek, Yori Antar memulai misi menemukan kembali Wae Rebo. Saat itu, hanya tersisa 4 Mbaru Niang yang berdiri, tiga sisanya dalam keadaan rusak berat. Yori kemudian memutuskan untuk membuat gerakan Rumah Asuh untuk mencari donatur agar rumah-rumah tersebut kembali berdiri. Misinya berhasil, tahun 2012, Unesco menjadikan Wae Rebo sebagai salah satu World Heritage.

Ibu-ibu Waerebo dan biji kopi legendaris, Flores Bajawa.
Mbaru Niang ini juga sebenarnya menganut konsep yang sama dengan cara membagi sawah di Cancar. Menurut ibu yang saya temui di kaki bukit Cancar, Suku Manggarai membagi segala sesuatu yang mereka punya dengan cara mengiris berbentuk segitiga sama kaki, alih-alih membagi dengan cara kotak persegi.Menurut mereka pembagian ini akan lebih adil.
Cuaca sedang tidak terlalu bersahabat dengan kami, beberapa kali kami harus berteduh karena hujan kembali mengguyur Wae Rebo. Setelah selesai bermain bersama anak-anak Wae Rebo (seru banget mereka, nyanyi, makan coklat, gelendotan, minta gendong.. banyak lah..), foto-foto, keujanan, akhirnya saya makan, jangan khawatir, semua tamu yang mengunjungi Wae Rebo akan disediakan makanan khas. Entah apa namanya, banyak macamnya mulai dari lauk, sayur dan kerupuk. Yang pasti semuanya enaaaaak.

Mana giginya??? (malah nunjukin choki choki)

Ini anak-anak tourist friendly sekali. pangku, nyanyi, minta gendong, ga pake malu-malu
Sayang kami harus segera turun karena kami harus mengejar perjalanan menuju Labuan Bajo. Para guide juga tidak menyarankan untuk melakukan perjalanan menembus hutan Wae Rebo ketika hari terlalu sore. Maka kami segera bergerak turun. Perjalanan turun tidak juga menjadikan track lebih bersahabat. Hujan gerimis semakin sering turun, menjadikan track kami sangat licin. Harus menggunakan bantuan tongkat kayu supaya tidak jatuh tergelincir.

saran, bawalah trekpole atau kayu yang kokoh buat pegangan. disclaimer : penuh pacet!!
Perjuangan kembali kami lalui.. kaki udah tremor, pegel, mau copot rasanya.. akhirnya sampe lagi di Desa Denge sekitar jam 5 sore. Kaki saya benar-benar tidak bisa digerakkan. hahahahahaha. Saya dan Marsya lebih banyak menyeret kaki dibandingkan berjalan dengan semestinya. Tapi yang pasti, perjalanan jauh dan melelahkan ini tidak sia-sia. Saya tidak pernah menyangka akan bisa menginjakkan kaki di sana dan bermain dengan anak-anak Wae Rebo!!

Wae rebo..

Wae rebo, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Karena jauh dan susah mau ke sini, jangan pernah malu-malu foto all out. hahahaha

we made it!!

Terima kasih ya Allah atas kesempatannya bisa liat negeri indah banget gini.. ga nolak kalo ada yang bayarin ke sini lagi. hehehe
Pengalaman ini yang akhirnya membuat saya mengadakan program #BukuBuatWaerebo. Saya tidak sampai hati membayangkan mereka harus berjalan sejauh ini untuk belajar dan mendapatkan ilmu pengetahuan. Desa Denge yang menjadi desa terakhir tumpuan mereka, harus ditempuh dengan medan yang tidak mudah dan waktu tempuh yang tidak sebentar.
Saya benar-benar meninggalkan hati saya di sana. Saya akan kembali lagi ke Waerebo untuk langkah yang lebih nyata.

Akhirnya jam 17.30 sampe penginapan lagi dengan keadaan kaki ga bisa digerakin. cuma bisa diseret. hahahaha